FIM l17/06/16l, Istilah Islam Nusantara yang sempat mencuat beberapa waktu lalu membuktikan betapa sengitnya pertarungan pemikiran antara Islam dan sekularisme di Indonesia. Penulis mengkaji kembali modul internalisasi nilai-nilai dasar aparatur sipil negara yang diterbitkan oleh Pusbangtendik dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) pada tahun 2015. Setidaknya ada dua point penting yang dapat dijadikan fokus dalam mengkritisi substansi materi yang tersaji di modul tersebut, yaitu : toleransi kembar, dan nilai-nilai moral ketuhanan. |
1. Toleransi kembar
Mengutip tulisan di dalam modul tersebut : “Kunci membangun negara modern dan demokratis bukan pada ada tidaknya pemisahan antara agama dan Negara. Bagaimana membangun relasi agama dan Negara dalam ketatanegaraan merupakan pilihan historis. Namun kunci menuju Negara demoratis terletak pada bagaimana mengembangkan toleransi kembar (twin tolerantions) dalam konstruksi politik. Toleransi kembar adalah situasi ketika institusi agama dan Negara menyadari batas otoritasnya lalu mengembangkan toleransi sesuai fungsinya masing-masing”.………. “Sementara individu dan komunitas agama harus memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan ibadah. Mereka juga harus bisa mengembangkan nilai-nilai agama dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk mengembangkan organisasi masyarakat maupun partai politik, dengan mengindahkan aturan hukum yang berlaku.”
Bagian lain di dalam modul tersebut menyatakan bahwa :
“..untuk mewujudkan toleransi kembar sehingga tercipta keadaan harmonis antara otoritas agama dan otoritas negara, perlu dibangun relasi baru diluar pemisahan dan penyatuan. Relasi baru ini dinamakan diferensiasi. Diferensiasi ini dimaknai sebagai pembedaan, bukan pemisahan antara agama dan Negara, dalam arti otoritas agama dan Negara masing-masing punya ranah kehidupan yang berbeda.”
2. Nilai – nilai Moral Ketuhanan
Kinerja (performance) dan mutu pelayanan publik (public services) di dalam bingkai negara teodemokrasi Indonesia akan menjadi jauh lebih baik manakala setiap aparatur sipil Negara menginternalisasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai dasar ANEKA dalam kesehariaannya. Bagian tulisan di dalam modul tersebut menyatakan bahwa : “Implementasi nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan berdemokrasi menempatkan kekuasaan berada di bawah Tuhan dan rakyat sekaligus. Demokrasi Indonesia tidak hanya berarti daulat rakyat tapi juga daulat Tuhan, sehingga disebut dengan teodemokrasi. Ini bermakna bahwa kekuasaan (jabatan) itu tidak hanya amanat manusia tapi juga amanat Tuhan. Maka, kekuasaan (jabatan) harus diemban dengan penuh tanggung jawab dan sungguh-sungguh. Kekuasaan (jabatan) juga harus dijalankan dengan transparan dan akuntabel karena jabatan yang dimiliki adalah amanat manusia dan amanat Tuhan yang tidak boleh dilalaikan.”
Pada bagian lain di dalam modul tersebut juga tertulis bahwa : “Dalam hal ini Pancasila bukan agama yang bermaksud mengatur sistem keyakinan, system peribadatan, system norma, dan identitas keagamaan masyarakat. Ketuhanan dalam kerangka Pancasila bisa melibatkan nilai-nilai moral universal agama-agama yang ada. Pancasila bermaksud menjadikan nila-nilai moral ketuhanan sebagai landasan pengelolaan kehidupan dalam konteks masyarakat yang majemuk, tanpa menjadikan salah satu agama tertentu mendikte Negara. Sila ketuhanan dalam Pancasila menjadikan Indonesia bukan sebagai Negara sekuler yang membatasi agama dalam ruang privat. Pancasila justru mendorong nilai-nilai ketuhanan mendasari kehidupan bermasyarakat dan berpolitik. Namun, Pancasila juga tidak menghendaki Negara agama, yang mengakomodir kepentingan salah satu agama. Karena hal ini akan membawa pada tirani yang memberangus pluralitas bangsa. Dalam hal ini, Indonesia bukan Negara sekuler sekaligus bukan Negara agama.”
Sikap Politis Seorang Muslim
Namun, dari sudut pandang Islam, dua simpul di atas harus disikapi secara berbeda. Terkait toleransi kembar, jelas bahwa eksistensi Negara teodemokrasi merupakan objek hukum. Negara menurut hukum Islam adalah seorang khalifah yang menjadikan Islam sebagai fikrah dan thariqahnya serta mengembannya dalam agenda dakwah dan jihad ke seluruh penjuru dunia. Toleransi kembar yang membatasi kedaulatan hukum syara’ dalam mengatur kehidupan public sangat bertentangan dengan ajaran Islam, sebab hukum syariat Islam mengatur hubungan manusia dengan dirinya, sesama manusia, dan dengan Allaah. Artinya hukum syariat Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk bernegara. Islam telah lebih dulu mengajarkan kepada dunia bagaimana praktik toleransi keyakinan antara Negara dan rakyatnya, sebagaimana pengakuan TW Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam :“Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintah Ottoman (Turki Utsmani)-selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.”
Toleransi keyakinan yang dikehendaki oleh konsep teodemokrasi di dalam twin tolerantion-nya sesungguhnya bukan dialamatkan untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama dalam melaksanakan agamanya, namun adalah upaya untuk menjauhkan Islam dalam mengatur kehidupan, dengan satu sebab yaitu bahwa Islam memiliki aturan khas tentang segala aspek kehidupan yang bertentangan dengan kepentingan demokrasi yang zhalim. Jika mengutip definisi Toleransi menurut Ajad Sudrajat dkk, (di dalam buku Din Al-Islam, UNY Press 2009); “..bahwa toleransi tidak berarti harus seseorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dia anut.“; maka seorang muslim yang mengadopsi doktrin twin tolerantion sesungguhnya telah mengorbankan keyakinan dan prinsip kedaulatan Allaah swt yang dia anut dalam Islam.
Terkait nilai-nilai moral ketuhanan, jika diartikan bahwa Negara agama akan memberangus plurailtas bangsa, yang oleh karena itu harus dihindari. Maka kita harus objektif untuk lebih dulu menghadirkan analisis fakta, Negara agama mana yang kehadirannya memberangus pluralitas bangsa, atau bahkan lebih spesifik lagi memberangus heterogenitas agama ? Jika jawabannya adalah Islam maka itu adalah tuduhan sesat yang tidak rasional dan tidak ilmiah. Negara Islam perdana di Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw kala itu saja telah mengelola kemajemukan dengan amat baiknya, di sana kaum muslimin hidup berdampingan dengan nasrani dan yahudi di dalam naungan pemerintah Islam. Masyarakat non-muslim kala itu memperoleh jaminan atas hak-haknya sebagai warga Negara meliputi keamanan, dan pelaksanaan ritual ibadahnya masing-masing.
Kesimpulan
Suatu Negara berdiri atau didirikan untuk menjaga suatu kepentingan tertentu dimana rakyat yang hidup di dalamnya menjadi pilar penting eksistensi suatu Negara. Oleh karena itu, Negara terus menjamin terjaganya suatu persepsi di tengah rakyatnya sehingga kepercayaan dan keberpihakan mereka kepada penguasanya terjamin sedemikian rupa. Negara yang berusaha mengalahkan kepentingan suatu agama berarti memiliki kepentingan yang berbeda dengan apa yang dianggap penting oleh agama tersebut. Jika Islam amat mementingkan ketaatan dan keridhoan Allaah dalam segala aktivitas kehidupan seorang manusia maka Negara teodemokrasi sesungguhnya tidak mementingkan hal tersebut. Mana mungkin Negara yang tidak mementingkan keridhoan Allaah akan mendapatkan keridhoan Allaah swt ? Oleh karena itu, yang amat mendesak dibutuhkan oleh umat Islam saat ini bukanlah toleransi yang menyesatkan namun toleransi yang dicontohkan oleh Rasulullaah saw dan para Khalifah. Marilah kita renungkan firman Allaah swt di dalam Q.S Ali Imran, ayat 19 berikut ini : “Inna addiina ‘indallaahi al islaam.”
Billaahi fii sabiilil haq, wassalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Mengutip tulisan di dalam modul tersebut : “Kunci membangun negara modern dan demokratis bukan pada ada tidaknya pemisahan antara agama dan Negara. Bagaimana membangun relasi agama dan Negara dalam ketatanegaraan merupakan pilihan historis. Namun kunci menuju Negara demoratis terletak pada bagaimana mengembangkan toleransi kembar (twin tolerantions) dalam konstruksi politik. Toleransi kembar adalah situasi ketika institusi agama dan Negara menyadari batas otoritasnya lalu mengembangkan toleransi sesuai fungsinya masing-masing”.………. “Sementara individu dan komunitas agama harus memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan ibadah. Mereka juga harus bisa mengembangkan nilai-nilai agama dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk mengembangkan organisasi masyarakat maupun partai politik, dengan mengindahkan aturan hukum yang berlaku.”
Bagian lain di dalam modul tersebut menyatakan bahwa :
“..untuk mewujudkan toleransi kembar sehingga tercipta keadaan harmonis antara otoritas agama dan otoritas negara, perlu dibangun relasi baru diluar pemisahan dan penyatuan. Relasi baru ini dinamakan diferensiasi. Diferensiasi ini dimaknai sebagai pembedaan, bukan pemisahan antara agama dan Negara, dalam arti otoritas agama dan Negara masing-masing punya ranah kehidupan yang berbeda.”
2. Nilai – nilai Moral Ketuhanan
Kinerja (performance) dan mutu pelayanan publik (public services) di dalam bingkai negara teodemokrasi Indonesia akan menjadi jauh lebih baik manakala setiap aparatur sipil Negara menginternalisasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai dasar ANEKA dalam kesehariaannya. Bagian tulisan di dalam modul tersebut menyatakan bahwa : “Implementasi nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan berdemokrasi menempatkan kekuasaan berada di bawah Tuhan dan rakyat sekaligus. Demokrasi Indonesia tidak hanya berarti daulat rakyat tapi juga daulat Tuhan, sehingga disebut dengan teodemokrasi. Ini bermakna bahwa kekuasaan (jabatan) itu tidak hanya amanat manusia tapi juga amanat Tuhan. Maka, kekuasaan (jabatan) harus diemban dengan penuh tanggung jawab dan sungguh-sungguh. Kekuasaan (jabatan) juga harus dijalankan dengan transparan dan akuntabel karena jabatan yang dimiliki adalah amanat manusia dan amanat Tuhan yang tidak boleh dilalaikan.”
Pada bagian lain di dalam modul tersebut juga tertulis bahwa : “Dalam hal ini Pancasila bukan agama yang bermaksud mengatur sistem keyakinan, system peribadatan, system norma, dan identitas keagamaan masyarakat. Ketuhanan dalam kerangka Pancasila bisa melibatkan nilai-nilai moral universal agama-agama yang ada. Pancasila bermaksud menjadikan nila-nilai moral ketuhanan sebagai landasan pengelolaan kehidupan dalam konteks masyarakat yang majemuk, tanpa menjadikan salah satu agama tertentu mendikte Negara. Sila ketuhanan dalam Pancasila menjadikan Indonesia bukan sebagai Negara sekuler yang membatasi agama dalam ruang privat. Pancasila justru mendorong nilai-nilai ketuhanan mendasari kehidupan bermasyarakat dan berpolitik. Namun, Pancasila juga tidak menghendaki Negara agama, yang mengakomodir kepentingan salah satu agama. Karena hal ini akan membawa pada tirani yang memberangus pluralitas bangsa. Dalam hal ini, Indonesia bukan Negara sekuler sekaligus bukan Negara agama.”
Sikap Politis Seorang Muslim
Namun, dari sudut pandang Islam, dua simpul di atas harus disikapi secara berbeda. Terkait toleransi kembar, jelas bahwa eksistensi Negara teodemokrasi merupakan objek hukum. Negara menurut hukum Islam adalah seorang khalifah yang menjadikan Islam sebagai fikrah dan thariqahnya serta mengembannya dalam agenda dakwah dan jihad ke seluruh penjuru dunia. Toleransi kembar yang membatasi kedaulatan hukum syara’ dalam mengatur kehidupan public sangat bertentangan dengan ajaran Islam, sebab hukum syariat Islam mengatur hubungan manusia dengan dirinya, sesama manusia, dan dengan Allaah. Artinya hukum syariat Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk bernegara. Islam telah lebih dulu mengajarkan kepada dunia bagaimana praktik toleransi keyakinan antara Negara dan rakyatnya, sebagaimana pengakuan TW Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam :“Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintah Ottoman (Turki Utsmani)-selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.”
Toleransi keyakinan yang dikehendaki oleh konsep teodemokrasi di dalam twin tolerantion-nya sesungguhnya bukan dialamatkan untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama dalam melaksanakan agamanya, namun adalah upaya untuk menjauhkan Islam dalam mengatur kehidupan, dengan satu sebab yaitu bahwa Islam memiliki aturan khas tentang segala aspek kehidupan yang bertentangan dengan kepentingan demokrasi yang zhalim. Jika mengutip definisi Toleransi menurut Ajad Sudrajat dkk, (di dalam buku Din Al-Islam, UNY Press 2009); “..bahwa toleransi tidak berarti harus seseorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dia anut.“; maka seorang muslim yang mengadopsi doktrin twin tolerantion sesungguhnya telah mengorbankan keyakinan dan prinsip kedaulatan Allaah swt yang dia anut dalam Islam.
Terkait nilai-nilai moral ketuhanan, jika diartikan bahwa Negara agama akan memberangus plurailtas bangsa, yang oleh karena itu harus dihindari. Maka kita harus objektif untuk lebih dulu menghadirkan analisis fakta, Negara agama mana yang kehadirannya memberangus pluralitas bangsa, atau bahkan lebih spesifik lagi memberangus heterogenitas agama ? Jika jawabannya adalah Islam maka itu adalah tuduhan sesat yang tidak rasional dan tidak ilmiah. Negara Islam perdana di Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw kala itu saja telah mengelola kemajemukan dengan amat baiknya, di sana kaum muslimin hidup berdampingan dengan nasrani dan yahudi di dalam naungan pemerintah Islam. Masyarakat non-muslim kala itu memperoleh jaminan atas hak-haknya sebagai warga Negara meliputi keamanan, dan pelaksanaan ritual ibadahnya masing-masing.
Kesimpulan
Suatu Negara berdiri atau didirikan untuk menjaga suatu kepentingan tertentu dimana rakyat yang hidup di dalamnya menjadi pilar penting eksistensi suatu Negara. Oleh karena itu, Negara terus menjamin terjaganya suatu persepsi di tengah rakyatnya sehingga kepercayaan dan keberpihakan mereka kepada penguasanya terjamin sedemikian rupa. Negara yang berusaha mengalahkan kepentingan suatu agama berarti memiliki kepentingan yang berbeda dengan apa yang dianggap penting oleh agama tersebut. Jika Islam amat mementingkan ketaatan dan keridhoan Allaah dalam segala aktivitas kehidupan seorang manusia maka Negara teodemokrasi sesungguhnya tidak mementingkan hal tersebut. Mana mungkin Negara yang tidak mementingkan keridhoan Allaah akan mendapatkan keridhoan Allaah swt ? Oleh karena itu, yang amat mendesak dibutuhkan oleh umat Islam saat ini bukanlah toleransi yang menyesatkan namun toleransi yang dicontohkan oleh Rasulullaah saw dan para Khalifah. Marilah kita renungkan firman Allaah swt di dalam Q.S Ali Imran, ayat 19 berikut ini : “Inna addiina ‘indallaahi al islaam.”
Billaahi fii sabiilil haq, wassalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh.